Sebagian
ulama bertutur, “Al-‘Ilmu mâ fî sudûr laysa mâ fî sutûr (Ilmu itu adalah
apa yang di dalam dada, bukan yang ada di dalam catatan-catatan).”
Karena
itulah Al-A’masy ra., seorang tâbi’în pernah berkata, “Hapalkanlah ilmu
yang telah Anda kumpulkan! Sebab, orang yang mengumpulkan ilmu, tetapi ia tidak
menghapalnya, bagaikan seseorang yang duduk di depan hidangan, lalu ia
mengambil hidangan tersebut sesuap demi sesuap, namun ia kemudian melemparkan
suapan-suapan itu ke belakang punggungnya. Kapankah Anda akan melihat dia kenyang?”
Kesadarn untuk
mengikat ilmu dengan cara menghapal begitu kuat di kalangan para ulama dulu. Imam al-Muzani,
murid Imam Syafii, misalnya, membaca dan mengkaji Kitab Ar-Risâlah karya
Imam Syafii tidak kurang dari 500 kali.
Imam al-Bukhari bahkan menghapal dan mengkaji kitab yang sama lebih banyak
lagi: 700 kali. Imam Abdullah bin Muhammad membaca
dan mengulang-ulang mengkaji Kitab Al-Mughni yang cukup tebal karya Ibnu
Qudamah tidak kurang dari 23 kali. Demikian sebagaimana dikisahkan antara
lain dalam Kitab Mu’allim fî Tharîqi Thalab al-‘Ilmi.
Kefakiran dan
kesulitan hidup bahkan tidak menghalangi mereka untuk bersemangat terus
menghapal dan mengulang-ulang pelajaran. Imam an-Naisaburi, misalnya, sering menulis
pelajarannya dan mengulang-ulang hapalannya di bawah temaram cahaya rembulan karena
sering tidak punya uang untuk membeli minyak untuk menghidupkan lampunya. Demikian
sebagaimana dikisahkan oleh Ibnu Asakir dalam Kitab Tabyîn Kidzb al-Muftari.
Karena itu
wajar jika para ulama dulu menguasai banyak ilmu. Imam Waki’, misalnya, dalam satu
kali berdiri bisa menyampaikan 700 hadis hanya dengan mengandalkan hapalannya.”
(Al-Jarh wa at-Ta’dîl, 1/221).
Bagaimana
dengan kita?
Komentar
Posting Komentar