Saat
Anda berkata kepada istri Anda, “Aku mencintai kamu,” sungguh itu belum cukup.
Sebab, boleh jadi hal yang sama Anda ucapkan juga kepada wanita lain. Namun,
jika Anda berkata kepada istri Anda, “Hanya kamu yang aku cinta,” sejatinya tak
ada wanita lain—selain istri Anda—yang Anda cintai. Begitulah saat kita berucap
dalam setiap shalat, “Iyyaka na’budu (Hanya kepada Engkau kami
menghambakan diri/beribadah),” sejatinya tak ada yang lain—selain Allah
SWT—yang layak kita sembah/kita ibadahi.
Ibadah
(penghambaan) kepada Allah SWT itu, kata Imam Ja’far ash-Shadiq, hakikatnya ada
tiga: Pertama, kita sadar bahwa apapun yang kita ‘miliki’ hakikatnya adalah
milik Allah SWT. Karena itu tak selayaknya kita bersedih apalagi berduka saat
milik Allah SWT itu—yang kebetulan Dia titipkan kepada kita—hilang dari sisi
kita. Tak selayaknya pula kita merasa keberatan saat Allah SWT, Pemilik hakiki harta
kita, meminta kita untuk menginfakkan harta di jalan-Nya, baik infak wajib
(seperti zakat) maupun sunnah (seperti sedekah). Kedua, kita selalu
tunduk dan taat—tanpa sedikit pun membantah—pada apapun perintah-Nya meskipun
bertentangan dengan kecenderungan dan hawa nafsu kita. Ketiga, kita
tidak membuat hukum/aturan di luar hukum/aturan-Nya. Kita hanya wajib
menjalankan semua syariah-Nya.
Komentar
Posting Komentar