Banyak Muslim yang menunda-nunda untuk taat
kepada Allah SWT dengan berbagai alasan; menunda-nunda shalat, kewajiban
menutup aurat, membayar zakat, dsb. Sikap demikian jelas bertentangan dengan karakter
utama seorang Mukmin, sebagaimana firman Allah SWT (yang artinya): Sungguh
jawaban kaum Mukmin itu jika mereka diseru kepada Allah dan Rasul-Nya agar
Rasul menghukumi (mengadili) mereka ialah ucapan, “Kami mendengar dan kami
patuh.” Mereka itulah kaum yang beruntung (TQS an-Nur [24]: 51-52).
Terkait firman Allah SWT di atas,
tentu menarik kisah berikut:
Suatu saat Imam Ja’far ash-Shadiq sedang bersama budaknya yang
sedang menuangkan air. Tanpa sengaja, air menciprati pakaian Imam Ja’far.
Beliau lalu memandang budaknya dengan pandangan kurang suka. Namun, sang budak
buru-buru menyitir potongan QS Ali Imran ayat 134, “(Wa al-kâzhîmîn al-ghayzh (Orang-orang yang menahan marah).”
Imam Ja’far berkata, “Aku telah menahan amarahku kepada kamu.” Sang budak
melanjutkan, “Wa
al-âfîna ‘an an-nâs (Orang-orang yang memaafkan manusia).” Imam
Ja’far berkata, “Aku pun telah memaafkan kamu.” Sang budak melanjutkan lagi, “(Wa AlLâhu yuhibb
al-muhsinîn (Allah mencintai orang-orang
yang berbuat kebajikan).” Imam Ja’far kembali berkata, “Pergilah,
engkau sekarang merdeka karena Allah, dan untuk kamu, aku beri hartaku sebesar
seribu dinar.” (Bahr
ad-Dumû’, hlm. 175).
Begitulah keagungan Imam Ja’far. Beliau langsung mengamalkan
seluruh isi kandungan ayat tersebut tanpa ditunda-tunda meski itu disampaikan
hanya oleh budaknya. Yang lebih menakjubkan, hanya untuk menebus
‘kesalahan’-nya—memandang budaknya dengan perasaan tidak suka—ia rela
membebaskan budaknya itu plus memberi budak itu sedekah seribu dinar (lebih
dari Rp 2 miliar)! Bagaimana dengan kita?
Komentar
Posting Komentar