Hendaknya
setiap Muslim—dalam hal ini setiap murid atau pelajar—memuliakan ilmu yang dia
pelajari. Itulah yang ditunjukkan oleh generasi salafush-shalih
terdahulu. Berikut ini secuil keteladanan mereka dalam memuliakan ilmi.
Suatu
saat, Imam al-Hulwani—ulama pengikut mazhab Hanafi yang menjadi imam besar di
Bukhara—pernah menyampai-kan, “Sesungguhnya aku memperoleh ilmu ini dengan
memuliakannya dan aku tidak mengambil catatan ilmu kecuali dalam keadaan suci.”
Hal
ini diikuti oleh murid beliau yang juga seorang ulama besar, yakni Imam
Syamsuddin as-Sirakhsi. Suatu saat beliau mengulang wudhu pada malam hari
hingga 17 kali karena sakit perut. Hal itu beliau lakukan agar bisa menelaah
ilmu dalam keadaan suci (Mukhatsar al-Fawâ’id al-Makkiyah, hlm. 30).
Adab
dan penghargaan para ulama terhadap ilmu juga ditunjukkan oleh Al-Hafizh
Muhammad bin Abdissalam al-Bilkandi, salah seorang guru Imam al-Bukhari. Suatu
saat beliau menghadiri majelis imlâ‘ hadis. Saat Syaikh di majelis
tersebut mendiktekan hadis, tiba-tiba pena al-Bikandi patah. Khawatir
kehilangan kesempatan untuk mencatat, beliau akhirnya mencari cara agar segera
memperoleh pena. Tak lama kemudian beliau berteriak, “Saya mau beli pena dengan
harga satu dinar!” Seketika, banyak pena disodorkan kepada beliau (Umdah
al-Qari, 1/165).
Kini,
satu dinar emas, kalau dikursikan ke rupiah kurang lebih senilai Rp 2 juta.
Demikianlah Imam al-Bikandi. Ia rela kehilangan uang sebesar itu hanya agar
beliau tetap berkesempatan mencatat hadis. Itu ia lakukan tentu karena
penghormatan dan penghargaannya yang luar biasa terhadap ilmu.
Komentar
Posting Komentar