Adab
atau akhlak yang baik juga acapkali ditunjukkan oleh ulama kepada ulama lainnya
meski mereka berbeda pendapat atau berbeda pandangan keagamaan. Di antaranya apa
yang ditunjukkan oleh Imam Syafii kepada pendahulunya, Imam Abu Hanifah.
Sebagaimana diketahui, Imam Syafii berpendapat tentang keharusan membaca doa
qunut dalam shalat subuh. Namun, Imam Syafii—seorang ulama besar sekaligus imam
mujtahid—pernah beberapa kali melaksanakan shalat subuh di dekat makam Imam Abu
Hanifah. Saat itu ia memilih tidak melaksanakan qunut subuh dalam rangka
menjaga adab terhadap Imam Abu Hanifah yang berpendapat bahwa qunut subuh tidak
disyariatkan (Ad-Dahlawi, Al-Inshâf fi Bayân Asbâb al-Ikhtilâf, hlm.
110).
Demikianlah,
betapa para ulama besar di zaman terdahulu amat hormat kepada ulama lainnya,
meski berbeda pendapat. Bahkan terhadap ulama yang sudah wafat pun adab itu
tetap dijaga.
Adab
yang sama ditunjukkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Selama ini beliau berpendapat
mengenai keharusan membaca basmalah (saat membaca surat al-Fatihah) secara sirr
(pelan dan hanya diri sendiri yang mendengar) dalam salat. Namun, di wilayah
tertentu beliau berpendapat, “Dibaca jahr (dengan suara jelas yang bisa
didengar oleh orang lain) basmalah jika berada di Madinah.”
Ibnu
Taimiyah menyimpulkan bahwa Imam Ahmad kadang-kadang meninggalkan beberapa
perkara sunnah demi alasan persatuan dan menghindari perpecahan. Alasannya,
menyatukan hati umat lebih agung dalam agama dibandingkan dengan beberapa
perkara sunnah (Risâlah al-Ulfah bayna al-Muslimîn, hlm. 47 dan 48)
Dalam
riwayat lain disebutkan bahwa Qadhi Abu Utsman al-Baghdadi, meskipun termasuk
ulama besar dan hakim mazhab al-Maliki, sering mengunjungi Imam ath-Thahawi
yang bermazhab Hanafi untuk menyimak karya-karya beliau (Al-Maqâlât
al-Kawtsari, hlm. 348).
Komentar
Posting Komentar