Pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab, saat sedang gencar-gencarnya jihad untuk menyabarluaskan dakwah Islam, terpaksa para mujahid meninggalkan istri-istri mereka dalam waktu sangat lama. Akibatnya, banyak istri yang tak “tahan” dalam kesendiriannya tanpa kehadiran suami di sisinya.
Diriwayatkan,
Khalifah Umar ra. suatu malam berpatroli. Beliau kebetulan melewati seorang
wanita di dalam rumahnya sedang mendendangkan syair, “Malam ini begitu lama/Sisi-sisinya begitu hitam/Makin lama pula aku
tanpa kekasih yang bercumbu denganku. Demi Allah, andai bukan karena rasa
takut kepada Allah, pasti sisi-sisi tempat tidur ini sudah bergoyang (oleh lelaki
lain, pen.).”
Mendengar itu,
esoknya Khalifah Umar ra. menemui Hafshah ra., putrinya sekaligus istri
Rasulullah saw., lalu bertanya, “Putriku, berapa lama seorang wanita bisa sabar
ditinggal suaminya?” Hafshah menjawab, “Ayah, semoga Allah mengampuni Anda,
orang seperti Anda bertanya kepada orang sepertiku tentang masalah ini?” Khalifah
Umar ra. berkata, “Andai ini bukan karena terkait dengan urusan kaum Muslim,
aku tidak akan bertanya kepadamu.” Hafshah ra. pun menjawab, “Empat bulan atau
lima bulan atau enam bulan.”
Sejak itu Khalifah Umar
ra. pun memutuskan, “Manusia berperang
(maksimal) selama satu bulan perjalanan berangkat, di medan perang selama empat
bulan, dan pulang selama satu bulan. Ini adalah waktu yang menjadi ketetapan
manusia dalam berperang.” (Abdur Razaq, Al-Mushannaf,
7/151).
Alhasil, dengan alasan
apapun, hendaknya seorang suami tidak boleh meninggalkan istrinya lebih dari
empat bulan, di luar perjalanan pulang-pergi, kecuali atas kerelaan istrinya.
Andai istrinya rela pun, sebaiknya suami berusaha untuk tidak meninggalkan
istrinya lebih dari apa yang ditetapkan oleh Khalifar Umar ra. di atas. WalLâhu alam.
[]
Komentar
Posting Komentar