Bagi seorang Muslim, bahagia atau sengsara sejatinya tidak diukur dengan standar materi. Seharusnya bahagia dan sengsara diukur dengan standar yang lebih bersifat ruhiah (spiritual). Terkait itu, Abu Utsman al-Jizi rahimahulLah berkata, “Di antara tanda bahagia adalah engkau menaati Allah, namun engkau takut tidak akan diterima. Di antara tanda sengsara adalah engkau bermaksiat, namun engkau berharap akan selamat." (Ibn Hajar, Fath al-Bari, jilid 11 hlm. 342). Lebih detil dinyatakan, ”Sungguh tanda-tanda bahagia ada sebelas: Pertama, zuhud di dunia, rindu akhirat. Kedua, fokus ibadah dan membaca al-Quran. Ketiga, sedikit bicara dalam perkara yang tak perlu. Keempat, memelihara shalat lima waktu. Kelima, wara’ (hati-hati terhadap perkara haram, sedikit atau banyak). Keenam, bersahabat dengan orang-orang shalih. Ketujuh, rendah hati dan tidak sombong. Kedelapan, dermawan. Kesembilan, menyayangi makhluk Allah SWT. Kesepuluh, bermanfaat bagi orang lain. Kesebelas, banyak mengi...
Seorang Muslim wajib tunduk, patuh dan taat secara mutlak kepada Allah SWT. Hal demikian harus ia buktikan dengan cara tunduk, patuh dan taat secara total pada semua syariah-Nya. Ia tidak boleh sedikitpun memilih-milih dan memilah-milah hukum-Nya. Allah SWT berfirman (yang artinya): Apakah kalian mengimani sebagian al-Kitab dan mengingkari sebagian lainnya? Tidak ada balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara kalian melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada Hari Kiamat mereka akan dikembalikan pada siksa yang sangat berat (TQS al-Baqarah [2]: 85). Ayat di atas menjelaskan bahwa kaum Muslim harus tunduk dan ridha terhadap syariah Allah SWT. Mereka harus selalu merujuk pada hukum yang terdapat dalam al-Quran dan al-Hadis dalam menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan mereka. Mereka tidak layak berpaling dari ketetapan Allah SWT dan Rasul-Nya, sebagaimana firman-Nya (yang artinya): Tidaklah pantas seorang lelaki Mukmin maupun perempuan Mukmin, jika Alla...